(Cerpen) Fajar di Ambang Senja

Dan sesungguhnya cerita ini dibuat untuk memenuhi tugas membuat cerpen mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas XI .__. Hope you like it! ^^


Fajar di Ambang Senja

Karya : Rifkha Aulia Fazrianti Zaelani

9 September 2014
Aku merapatkan kembali jaketku sambil sesekali menggosok-gosok telapak tanganku, mencoba untuk mengusir hawa dingin yang menusuk tubuhku. Hujan turun sangat
deras tak mempedulikan orang-orang yang tengah sibuk beraktifitas ataupun yang sedang dalam perjalanan pulang beraktifitas hari ini. Deras hujan yang membuat atap halte terdengar sangat berisik, dan membuat suara penghuni halte ini hanya terdengar samar-samar ditelinga, serta karat ganas yang siap menggerogoti dan menghancurkan partikel demi partikel mesin kendaraan yang lalu lalang ditengah hujan. Aku bersenandung kecil sambil menikmati alunan musik yang terputar diearphone yang terpasang ditelingaku. Rasanya, suasananya, aku sangat mengenal lagu ini. Dengan sesekali menoleh kesamping, aku tersenyum simpul. Kuperhatikan mereka, perlahan orang-orang yang berada disampingku pergi satu persatu meninggalkan bangku yang saat ini aku duduki. Aku tersenyum, saat melihat orang yang menjemput mereka menghampiri ataupun terkadang ada yang berhenti diseberang jalan dan melambaikan tangannya dengan wajah khawatir, takut jika anak kesayangan mereka kedinginan ataupun kuyup diterpa hujan. Aku tersenyum, dan aku mulai mengingat wajah itu. Wajah yang mungkin akan sama apabila dia sekarang berada diseberang jalan, wajah yang akan sama apabila sekarang dia menghampiriku dengan memberikan sebuah payung untukku. Wajah khawatir, dan penuh kasih sayang.
Alunan musik dan suara khas Rinto Harahap mengalun lembut ditelingaku, membuatku sejenak melupakan deras hujan yang turun saat ini.
Dimana.. Akan kucari..
Aku menangis seorang diri
Hatiku selalu ingin bertemu
Untukmu aku bernyanyi
Untuk ayah tercinta..
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata dipipiku
Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi.
Fikiranku mulai menerawang, memikirkan kembali apa yang pernah ku alami. Otakku berusaha mencari-cari data yang saat ini ingin ku putar kembali. Ingatanku berusaha mengingat memori yang dahulu pernah terekam, dan beberapa saat kemudian aku mendapatkannya. Wajahnya yang tak pernah lelah saat dia merawatku, tawanya yang selalu menghiasi wajahnya saat dia melihatku mulai melakukan hal-hal yang bodoh, senyumannya yang memaklumi tingkah laku ku, helaian rambutnya yang harum tercium saat dia menggendongku dipundaknya, serta jemarinya yang kokoh saat dia mengusap lembut rambutku, aku mulai mengingatnya kembali. Memori yang sekian lama tersimpan rapih dalam ingatanku kini terputar kembali. Pertambahan usia tak membuatku melupakan setiap detail kejadian waktu itu. Perlahan otakku mulai memflashback semuanya, setiap detail kejadian yang pernah ku lewati bersamanya, hingga satu titik yang tak akan pernah ku lupakan seumur hidupku.

9 September 2003
Kejadian tepat sebelas tahun yang lalu, dan saat itu aku masih berusia 6 tahun. Aku diajak oleh ayah dan ibu untuk pergi ke sebuah tempat. Aku tak jelas mengingat acara apa yang tengah terjadi saat itu, namun aku rasa saat itu aku berada disebuah pameran yang menampilkan banyak sekali tempat permainan dan pertunjukkan, seperti komedi putar, bianglala, kincir, rumah hantu, dan sebagainya. Aku masih berusia enam tahun, sangat menyenangkan bisa diajak ke tempat seperti itu. Aku dapat bermain sepuasnya, ditemani ayah karena ibu harus menemui rekan kerjanya yang tak jauh dari tempat pameran. Ayah mengajarkanku berbagai permainan, aku sangat menikmatinya saat itu. Ayah mengajarkanku bagaimana caranya mendapatkan ikan dengan menggunakan kertas tipis disalah satu permainan yang ada dipameran tersebut. Ayah juga mengajakku untuk bermain tembak-tembakan kaleng disalahsatu kios permainan disana, “kalo ayah berhasil nembak kalengnya, kamu mau nuker hadiahnya sama apa?” tanya ayah kepadaku yang tengah sibuk memakan es krim disamping Ayah. Ayah mendudukanku dimeja kios agar aku bisa melihat deretan hadiah yang ada disana. “Memangnya ayah bisa?” tanyaku sambil melihat ayah yang tengah bersiap-siap membidik sasarannya. “Untuk anak ayah tercinta. Ayah akan berusaha.” Ayah tersenyum melihatku. “Kalau begitu, dapatkan boneka sapi kecil itu untukku!” ucapku sambil menunjuk sebuah boneka sapi kecil diantara deretan hadiah yang ada disana. “Kamu yakin tidak mau boneka beruang yang besar itu?” Ayah meminta pertimbanganku. “Tidak. Aku lebih suka boneka sapi kecil itu! Ayah, tolong dapatkan itu untukku!” ayah dengan semangat mencoba membidikkan tembakannya ke sasaran, tembakan pertama ternyata gagal. “Ayah! Kau sudah berjanji. Aku tidak akan mau berbicara denganmu lagi jika kau gagal mendapatkannya!” ucapku serius dengan mengerutkan dahi menatap ayah. Namun apalah arti ucapan serius anak berusia enam tahun, ayah hanya tertawa mendengar ucapanku. “Kita masih banyak kesempatan. Akan ayah tunjukan. Dan kamu akan berbicara dengan ayah selamanya” ayah kembali memfokuskan bidikannya tepat ke sasaran. Dan ternyata, percobaan yang kedua itu berhasil. Ayah berteriak senang, dengan langsung menyimpan aku dipundaknya dan berjoged ala euforia seorang pemain sepak bola yang berhasil memasukan bola ke gawang. “Sekarang, apa yang anak ayah inginkan akan menjadi kenyataan. Pak, bisa saya mendapatkan boneka sapi kecil itu sebagai hadiahnya?” tanya ayah kepada bapak penjaga kios. “Tentu saja. Ini untuk adek kecil, boneka ini bisa untuk merekam satu kali suara. Dan durasinya tidak boleh lebih dari satu menit. Boneka ini lebih menarik daripada boneka beruang yang besar itu.” Kata bapak penjaga kios itu tersenyum kepadaku, sepertinya beliau mendengar apa yang aku dan ayah katakan tadi sebelum mencoba permainan itu.
“Baiklah kalau begitu, apa yang akan kita rekam disini? Nanti kita tunjukkan hadiah ini kepada ibu. Agar ibu iri melihatnya. Hahaha ” tanya ayah. Aku mengerutkan dahi. Ayah tertawa melihat ekspresiku seperti itu.
“Baiklah kalau begitu ayah yang mulai duluan ya? Nanti kamu katakan apa yang ingin kamu katakan.” Ucap ayah sambil tersenyum.
“Ayah mencintai anak ayah melebihi apapun. Ayah rela melakukan apapun demi anak ayah asalkan bisa melihat dia tersenyum. Ayah sayang kamu. Ayah mau anak ayah berbicara dengan ayah selamanya, meskipun ayah tidak bisa mendapatkan boneka ini untuk anak ayah.” “ayo sekarang giliran kamu” ayah cepat-cepat menyerahkan boneka itu kepadaku khawatir kalau durasinya habis. Aku tersenyum.
“Aku menyayangi ayah melebihi apapun. Aku sayang ayah. Terimakasih untuk segalanya” aku menghambur memeluk ayah. Dan 15 detik kemudian durasi rekaman itu habis. Ayah mengajakku untuk pulang karena ibu telah menunggu dimobil. Sambil berjalan, aku memutar kembali apa yang barusan kami rekam. Aku tertawa. Dan ayahpun ikut tertawa. Dikejauhan, aku melihat ibu juga tengah tersenyum melihat kami berdua. Dia melambaikan tangannya. Aku berlari menghampiri ibu, disusul dengan ayah. Didalam mobil, aku sibuk menceritakan apa yang hari ini aku lakukan bersama ayah, tak lupa aku juga menunjukkan boneka sapi kecil itu kepada ibu. Ayah tertawa. Ibu mencubit  pipi ayah dan pipiku, “kalian tega yaa seneng-seneng tanpa ibu” dan tawa kami-pun meledak bersama-sama didalam mobil. Diperjalanan pulang, aku tak berhenti berceloteh. Ayah dan ibu dengan sabar mendengarkan setiap kalimat-demi kalimat yang keluar dari mulutku, dan sesekali mereka tertawa bersama. Ditengah perjalanan aku melihat ada yang berjualan balon udara, aku meminta dan merengek agar dibelikan balon itu. Akhirnya, ayah menuruti kemauanku dan sebelum keluar mobil Ayah berkata “Kau sudah tau.. ayah mencintaimu lebih dari apapun. Ayah rela melakukan apapun demi kamu asalkan bisa melihat kamu tersenyum. Ayah sayang kamu. Ayah mau kamu berbicara kepada ayah selamanya.” Ayah tersenyum. Aku tersenyum dan menganggukan kepala mendengar ucapan ayah, “Aku bisa mendengar itu ribuan kali lewat rekaman ini. Sekarang belikan aku balon itu agar aku bisa tersenyum.” Ucapku sambil memeletkan lidah kepada ayah. Ayah berlari ke sebrang jalan, aku tersenyum melihat ayah yang sedang menawar harga balon itu untukku. Rasa senang menyeruak didalam hatiku. Melihat balon yang ayah pegang untukku. Ayah kembali berlari menghampiriku. Aku tersenyum dan menginjakinjakkan kakiku karena tak sabar memegang balon yang ayah bawa untukku. Namun tiba-tiba, dua meter sebelum sampai ke mobil. Ayah tertabrak oleh sebuah mobil kontainer. Mobil itu melaju cepat, meninggalkan ayah yang saat ini terbaring bercucuran darah ditengah jalan. Cipratan darahnya bisa kulihat jelas dikaca jendela mobil kami, balon udara yang tadi ayah pegang sekarang terbang semakin tinggi keangkasa berbarengan dengan saat ayah tertabrak. Aku meraba cipratan darahnya daridalam jendela mobil walaupun aku tau aku tak bisa langsung menyentuhnya karena darah itu berada disisi luar jendela mobil. Ibu segera memindahkan aku dalam pangkuannya dan menghambur keluar memeluk ayah yang terbaring dijalan. Orang-orang mulai berdatangan untuk melihat apa yang terjadi saat itu. Aku diam. Mematung. Karena aku tidak tau apa yang harus aku lakukan. Aku melihat ibu menangis sambil memeluk ayah, aku melihat jelas kondisi ayah yang lemah, tubuhnya banyak mengeluarkan darah. Aku mulai mengerti, ayah terluka! Aku melihat darah mengalir deras dari kepalanya. Aku menangis. Aku berteriak memanggil nama ayah. Aku berusaha mengguncang-guncangkan tubuh ayah. Namun dia tidak memberikan respon. Aku menangis semakin kencang. “Ayah!! Bangun yah!! Bukankah kau berjanji akan berbicara padaku selamanya? Bukankah kau berjanji akan selalu membuatku tersenyum? Ayah!! Bangun Yah!! Bukankah kau mencintaiku? Aku menangis sekarang, yah! Kenapa kau mengingkari janjimu?”  aku menggenggam erat jemari ayah, dan boneka sapi kecil itu berada dalam pangkuanku. Ambulance segera datang dan membawa ayah pergi ke rumah sakit. Aku berada disisi ibu dan menemani ayah sampai di rumahsakit. Dokter dengan cepat menyiapkan alat-alatnya. Aku menangis sesenggukan, melihat ayah yang selama ini selalu tersenyum kepadaku kini terbaring lemah dibangsal rumah sakit. Alat-alat tajam itu mulai menusuki tubuh ayah, pikiranku yang polos saat itu hanya memikirkan bahwa ayah pasti sakit menerima semua itu. Aku melihat dokter berbicara serius kepada ibu, namun aku lebih memperhatikan ayah untuk saat itu. Aku berdo’a untuk kesembuhan ayah. Aku berbicara kepada ayah meskipun ayah tak bisa mendengarku. “Yah, ayah janji kan? Akan terus menemaniku. Akan terus berbicara kepadaku. Ayah bangun. Ayah, meskipun ayah tidak bisa mendapatkan balon itu. Aku bakalan tetap mau berbicara sama ayah. Yah bangun.” Aku menundukan kepalaku. Merapalkan nama ayah dalam setiap do’aku. Dan saat itujuga, aku melihat wajah ayah untuk terakhir kalinya dan ditutupi oleh selembar kain putih. “Apa yang kalian lakukan kepada ayahku? Dia pasti kehabisan nafas jika ditutup seperti itu! Jangan sentuh dia. Dia tidak akan bisa membuka matanya kalau kalian menaruh kapas itu dikelopak matanya, aku mohon singkirkan benda itu darinya! Dia tak akan bisa mendengarku kalau kalian menutup telinganya. Ayaaah!! Aku sudah meminta mereka untuk tidak melakukan itu padamu Yah!! Tapi mereka tetap melakukannya!! Ayah!! Sekarang mereka membawamu pergi Yah!! Ibu juga ikut mengiringimu Yah!! Tapi kenapa aku tidak bisa  ikut? Aku ingin tetap bersamamu. Kenapa aku harus terpenjara dengan orang-orang ini disini? Dengan bibi dan paman? Kenapa mereka tidak mau melepaskanku? Ayaaah! Aku ingin mengejarmu!” aku tak bisa mengungkapkan kalimat itu melewati tenggorokanku. Pita suaraku rasanya sakit untuk sekedar berbicara sepatah ataupun dua patah kata. Aku hanya bisa menangis melihat ragamu dibawa pergi oleh orang-orang itu. Suara bibi dan paman seolah angin lewat ditelingaku, aku tau kalian berbohong! “Jangan sedih.. Ayahmu sedang diobati. Sebentar lagi juga sembuh. Ayahmu akan baik-baik saja” Aku tau mereka semua ingin membunuh ayah! Mereka melakukan itu! Mereka menutup hidung ayah dengan kapas! Ayah tidak bisa bernafas. Ayah bahkan tak bisa membuka matanya jika kelopak matanya ditutup seperti itu. Ayah tak bisa mendengar teriakanku jika kalian menutup telinganya seperti itu! Kenapa kalian semua menangis? Bukankah kalian mengatakan bahwa ayah akan sembuh? Ayah akan baik-baik saja? Mengapa kalian membohongiku?

9 September 2014
Tetesan demi tetesan hujan membuyarkan lamunanku. Aku tertampar kembali menghadapi kenyataan. Mengingat semua itu hanya membuat rongga di dadaku sesak, namun aku juga merasakan kehangatan didalamnya. Aku merindukan sosoknya. Sosok yang dahulu dengan tawanya apabila aku berbuat bodoh, wangi rambutnya saat dia menggendongku dipundaknya, dan tangannya yang kokoh saat dia menggenggam erat tanganku. Aku merindukannya. Aku menyesalkan kata-kata yang terakhir terucap olehku, aku memang dapat mendengar suaramu lewat boneka sapi kecil ini ribuan kali. Tapi lebih menyenangkan pada saat aku mendengar suaramu mengucapkan kata-kata itu walaupun hanya untuk satu kali. Ayah, kini aku sadar kau tidak mengingkari janjimu. Aku bisa berbicara padamu lewat do’a yang ku panjatkan setiap saat untukmu. Dan aku bisa mendengarmu, menyadarimu disaat aku tersenyum dan disaat aku meraih sesuatu yang aku impikan. Aku yakin saat itu, do’a ayah telah didengar. Ayah, aku menyayangimu. Dan aku merindukanmu. Sekarang aku sudah dewasa ayah, 11 tahun sejak ayah pergi meninggalkan aku. Aku sangat merindukanmu. Ayah, aku harap tuhan akan mempertemukan kita kembali, disurga nanti. Fajar diambang senja, adalah ungkapan kata bahwa aku hanya bisa menikmati waktu hidupku bersama Ayah sebatas waktu fajar, seolah Ayah harus pergi karena waktu telah senja. Fajar diambang senja, ayah laksana fajar yang memberikan cahaya dan kehangatan untukku, namun ayah juga pergi secepat waktu fajar yang ditelan waktu senja. Redup dan dingin, Aku kehilangan cahaya dan kehangatan hidupku. Fajar diambang senja, adalah sosok ayah yang merupakan cahaya yang dulunya bersinar tapi kemudian temaram. Laksana fajar yang bersinar dipagi hari, walaupun dia sudah tak ada tapi kelembutan cahayanya masih memberikan kehangatan, kharisma dan kerinduan tentang sosoknya. Laksana siluet senja, menjadi inspirasiku mengenang sosok ayah tentang semua yang pernah ada antara dia dan aku. Namun aku tau, hidup haruslah terus berjalan, aku tidak ingin membuatmu sedih disurga, aku ingin membuatmu bangga dan tersenyum karena melihatku disini juga bisa tersenyum karenamu.
            Aku menimang boneka sapi kecil itu dalam genggamanku. Boneka ini memang selalu aku bawa kemana-mana, karena boneka ini yang mampu membuat aku merasa sangat dekat dengan ayah. Sebuah klakson mobil diseberang jalan terdengar oleh telingaku, aku mengalihkan pandanganku kedepan. Dan aku melihat sesosok wanita setengah baya yang sudah tak asing lagi diretinaku melambaikan tangannya, separuh hidupnya dia baktikan untuk merawat dan menyayangiku walaupun dia harus berjuang sendiri, tanpa suaminya. Ibu.. aku tersenyum dan segera berlari menghampiri ibu, mencium punggung tangannya dan mengucapkan sebuah kalimat kepadanya, “Sudah 11 Tahun sejak terakhir kali aku merindukannya”.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Jatuh Hati, Nanti Kamu Repot Sendiri

(Cerpen) Twinkle