Makanan Halal di Negara Non-Muslim
Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Semoga kedamaian selalu Allah berikan dan tersimpan di hati
kita semua. Allahumma Aamiin.
Menulis ini, saya menunggu waktu yang cukup lama.
Sampai saya yakin saya memiliki dasar dan keyakinan yang kuat atas apa yang saya lakukan dan tuliskan.
Dalam menyampaikan ilmu, meskipun hanya satu ayat bukankah itu
adalah hal yang menjadi sebuah keharusan?
Mau berbagi cerita, ilmu, pengalaman. Mengenai makanan halal. Yang terkadang banyak disepelekan. Tinggal di negara yang mayoritasnya adalah non-muslim, maka kita harus bersiap pula dengan sepaket konsekuensi yang harus kita jalani. Selain usaha untuk mencari tempat sholat, usaha lainnya juga mencari makanan yang halal untuk dimakan.
Mau berbagi cerita, ilmu, pengalaman. Mengenai makanan halal. Yang terkadang banyak disepelekan. Tinggal di negara yang mayoritasnya adalah non-muslim, maka kita harus bersiap pula dengan sepaket konsekuensi yang harus kita jalani. Selain usaha untuk mencari tempat sholat, usaha lainnya juga mencari makanan yang halal untuk dimakan.
"Ngeribetin diri
sendiri."
"Makan ya makan
aja gausah banyak mikir."
Pada mulanya, saya pun berpikir demikian.
Pertamakali saya datang ke sini, saya pernah makan daging
ayam. Yang saya tidak tahu apakah menyembelihnya membaca Bismillah atau tidak.
"Selama bukan
daging babi mah ga apa-apa kali."
Jadi sebenarnya, itu hukum siapa?
Apakah Allah yang bilang 'engga apa-apa kali'?
Ataukah kita yang membuat hukum sendiri?
Saya hanyalah seorang fakir ilmu. Yang berusaha mencari tahu kebenaran. Dan,
Allah selalu ada memberi petunjuk bagi hambanya yang kebingungan.
Sekitar satu minggu setelah saya tiba di sini, saya pergi ke
Taipei Grand Mosque. Mesjid terbesar di Taiwan. Di warung halal dekat Mesjid, saya bertemu pasangan muda,
Mbak dan Mas yang sedang melanjutkan S2nya di sini. Ternyata Mbaknya dari Sunda
juga, Cianjur. Jadinya gampang akrab. Kami mengobrol, dan kemudian Masnya itu
bertanya,
"Dek, di sini
sering makan daging engga?"
"Jaraaaaaaang
banget, Mas."
"Iya, kami juga.
Kadang takut-takut juga kalo makan di luar, jadinya sering masak makanan
sendiri."
"Selama bukan
babi ga apa-apa kan, Mas?"
"Loh??? Ga bisa
gitu dong!!"
Masnya sedikit agak kaget mendengar ucapan saya. Dan Mbaknya langsung menyikut
Masnya. Seolah ngasih kode:
'Sudah, sudah.'
Tanpa penjelasan, dari raut muka, InshaAllah Masnya sudah
berusaha mengingatkan saya, InshaAllah itu bernilai dakwah untuk mereka. Karena Alhamdulillah saya menjadi tersadarkan.
Saya mengerti. Bahwa kita tidak bisa memaksakan apa yang
seseorang yakini. Ketika seseorang melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan
kita, kita tidak bisa langsung menghakimi.
“Lu salah. Gua yang
paling bener.”
Karena sejatinya dakwah itu merangkul, bukannya memukul.
Barangkali, ia mengetahui apa yang tidak kita ketahui. Barangkali,
kita yang belum paham.
Maka, semuanya, kembalikan kepada Al-Qur’an dan Hadist.
Ketika kita sudah yakin atas apa yang kita lakukan adalah benar, dan dengan
dasar yang kuat, maka meluruskan sesuatu yang bengkok adalah hal yang bijaksana. Barangkali
seseorang tersebut memang belum tahu. Dan perlu dikasih tahu. Seperti saya.
Saat itu saya masih ragu, dan ada yang mengingatkan seperti itu merupakan
teguran keras bagi saya. Dan tentunya, Alhamdulillah. Menjadi pelajaran hidup
yang sangat berharga untuk saya kedepannya.
“Kan, kalo hidup di
negara minoritas memang sulit cari yang halal. Makan sayur pun belum tentu
dimasaknya dengan cara yang halal. Siapa tahu tercampur dengan sesuatu yang
membuatnya menjadi tidak halal. Maka, ga ada bedanya. Mau makan daging ataupun
sayur. Yang penting bacanya pakai bismillah.”
Ada.
Ada bedanya.
Setidaknya, kita menghindari bahan dasar yang sudah kita
ketahui bahwa itu tidaklah halal. Maksudnya, dari cara penyembelihannya. Kita
tahu bahwa sayuran adalah halal, dan kita tidak bisa menjamin apakah daging
ayam atau sapi yang kita makan halal atau tidak. Membaca Bismillah sebelum
minum alkohol, tidak menjadikan alkohol itu halal.
“Kan belum tentu juga
itu ga halal. Siapa tahu itu disembelihnya pakai bismillah, dan kitanya aja
yang ga tahu.”
Lalu, pertanyaannya, seberapa yakinkah kita bahwa itu
disembelih dengan mengatasnamakan Allah?
Rasulullah bersabda, yang artinya,
“Tinggalkanlah
segala yang meragukanmu dan ambillah yang tidak meragukanmu.” (HR.
Tirmidzi, no. 2518. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih)
Tenang dulu, baca tulisan
ini hingga usai.
Juga, beberapa hadist yang menjadi dasar saya memilih untuk tidak makan daging non-halal di sini.
Juga, beberapa hadist yang menjadi dasar saya memilih untuk tidak makan daging non-halal di sini.
“Akan ada suatu
zaman, seseorang tidak akan lagi peduli terhadap apa yang ia ambil apakah itu
halal atau haram" (HR. Bukhari)
Ngeri ga bacanya?
Ketika 1400 Tahun yang lalu Rasulullah sudah memprediksi
bahwa kelak umatnya tidak lagi peduli dengan haram atau halalnya sesuatu yang mereka dapatkan.
Dan yang lebih mengerikannya lagi, telah diriwayatkan oleh
Tabrani, bahwa ketika kita memakan sesuatu yang tidak halal, maka do’a kita
tidak akan diterima selama 40 hari.
Maka dari itu, saya merasa hal ini adalah hal penting yang
harus saya sampaikan.
Juga, dari hadist ini:
Dari Abu Abdillah
Nu’man bin Basyir ra,
“Saya mendengar
Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu
jelas. Diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar)
yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka barang siapa yang takut terhadap
syubhat, berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan
barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat maka akan terjerumus dalam
perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan
gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat
laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan
larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini
terdapat segumpal daging, jika baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia
buruk maka buruklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa dia adalah hati." (HR.
Bukhari dan Muslim)
Mari dibaca baik-baik.
Dalam hadist tersebut dikatakan yang halal sudah jelas, dan
yang haram pun sudah jelas. Diantara halal dan haram itu, ada perkara syubhat
(samar-samar) atau diragukan. Maka, sebelum meninggalkan, lebih baiknya diperjelas
dulu status halal atau haramnya makanan tersebut. Caranya? Tanya. Tanya apakah
penjual tersebut seorang Muslim atau Ahli Kitab. Tanya kepada penjual tersebut
bagaimana proses penyembelihannya dan memasaknya. Sudah. Selesai perkara. Kita
bisa mengetahui apakah makanan tersebut halal atau haram.
Adapun terkait penyembelihan hewan, ada dua pendapat (diterangkan di Rumah Fiqih Indonesia oleh Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA) bahwa penyembelihan hewan ada yang mewajibkan membaca Bismillah (Madzhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Al-Hanabilah), ada yang menyunnahkan (Madzhab As-Syafi'iyah). Namun yang pasti, semua madzhab sepakat bahwa penyembelih haruslah orang muslim atau ahli kitab.
Adapun terkait penyembelihan hewan, ada dua pendapat (diterangkan di Rumah Fiqih Indonesia oleh Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA) bahwa penyembelihan hewan ada yang mewajibkan membaca Bismillah (Madzhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Al-Hanabilah), ada yang menyunnahkan (Madzhab As-Syafi'iyah). Namun yang pasti, semua madzhab sepakat bahwa penyembelih haruslah orang muslim atau ahli kitab.
Apabila tidak memungkinkan untuk memastikan, dan itu
membuat kita menjadi ragu atas status makanan tersebut, maka meninggalkannya
adalah lebih mulia. Bukan berarti haram (dilarang secara keras), karena makna
syubhat adalah sesuatu yang diragukan, statusnya tidak jelas. Dan hal ini
perlu digaris bawahi, bahwa meninggalkannya adalah lebih mulia. Untuk
menyelamatkan agama dan juga kehormatan kita. Sesuai hadist Nabi SAW di atas.
Karena, syubhat mengakibatkan pada diri timbul keraguan pada agama kita,
terhalangnya do’a, dan berujung pada gelapnya hati dan tidak lagi bisa merasakan
manisnya iman.
Sedikit cerita. Di sini, saya dikelilingi oleh teman-teman
non-muslim. Mereka benar-benar menolong saya saat saya tidak bisa makan daging
ayam atau sapi, apalagi babi. Saya berusaha menjelaskan alasan saya. Sampai
mereka berbicara,
“Tapi saya pernah
melihat Muslim makan daging selama itu bukan daging babi ya mereka makan.”
Disaat itu, sulit bagi saya untuk menjelaskan.
“Itu kembali kepada
dirinya masing-masing.”
Hal yang saya takutkan, adalah mereka akan berpikir,
“Oooh. Enak ya kalo di
Islam, kalo suka ya lakuin. Kalo engga suka ya ga usah.”
Ini hanya ketakutan saya pribadi. Husnudzon saja, tidak ada
yang pernah berpikir seperti itu.
Padahal, dalam Islam, larangan dan perintah Allah sudah
sedemikian jelas tertulis.
Balik ke hadist yang sudah ditulis di atas,
‘Ketahuilah bahwa
setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan.
Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika baik maka baiklah
seluruh tubuh ini dan jika dia buruk maka buruklah seluruh tubuh. Ketahuilah
bahwa dia adalah hati.’
Bahwa larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan.
Firman Allah SWT :
“Hai manusia,
makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah syaitan. Karena sesungguhnya syaitan adalah musuh
yang nyata bagimu." (Al-Baqarah :168)
Karena mengetahui saya tidak bisa makan daging non-halal,
memiliki teman-teman non-muslim yang sangat toleran adalah hal yang sangat luar
biasa.
“Nanti kita masak
pakai ikan saja.”
“Biar nanti aku buat
yang tidak pakai daging.”
Begitu kata teman-teman saya.
Dan suatu hari, teman saya bertanya,
“Kamu bisa makan keong
tidak?”
Sebagai fakir ilmu, kewajiban saya adalah untuk mencari
tahu.
‘Halah. Padahal makan
ya makan saja.’
Tidak. Tidak begitu. Kita tidak bisa semudah itu
menyepelekan aturan Allah.
“Biar nanti saya
tanyakan dulu apakah Muslim boleh makan keong atau tidak,” jawab saya.
Mengetahui, keong yang dimasak adalah keong hutan yang hidup di pohon.
Sejujurnya, saya sangat sangat ingin mencobanya. Teman saya
ini berasal dari Perancis, dan dia mau memasak keong, satu minggu sebelumnya
dia menawari saya. Dan setiap hari dia bertanya apakah sudah mendapatkan jawaban atau
belum mengenai saya bisa memakan keong atau tidak.
Saya berada dalam keraguan lagi. Kan, keong termasuk
binatang yang menjijikan, di mana menjijikan itu relatif untuk sebagian orang.
Saya bertanya kepada banyak sumber. Kepada mentor saya, kepada grup muslim,
teman-teman, dan lain-lain. Sampai teman saya selesai memasak, dia bilang,
“Kasih tau aku kalo
kamu bisa makan. Aku tunggu di basement.”
Menit berlalu, jawaban kepastian belum juga didapatkan.
Satu-satunya jawaban yang membuat saya tertegun adalah,
“Lebih baik tidak usah.
Rasanya pun tidak seberapa,” jawab seorang Ibu di salah satu grup islami yang
saya tanya.
Saat itu saya sadar, bahwa memang makanan itu bersifat
duniawi. Dan kalo berpikir lebih jauh lagi, kalo misalkan dibandinginnya sama
makanan yang bisa kita cicipi di Surga nanti karena kita berusaha menaati semua
perintah Allah, rasanya memang tidak seberapa. MashaAllah.
Rasa bosan datang, wajar ko. Rindu makan daging, wajar juga.
“Aku merasa prihatin
sama kamu ga bisa makan daging.”
Padahal, kalo kita mau memahami, justru Allah sedang menunjukkan
bahwa makanan yang dihalalkan selain daging itu banyak sekali. Bahwa makanan
tuh ga cuma ayam dan sapi. Kurang baik apa Allah menghalalkan seluruh makhluk
yang ada di laut, kurang baik apa Allah menciptakan tumbuhan untuk kita makan.
Hanya dengan larangan memakan daging non-halal maka kita merasa Allah begitu
tidak adilnya kah? Lantas di mana letak rasa syukur kita?
Kadang, harga seafood dan vegetarian food lebih mahal dari
makanan yang berasal dari daging. Apakah hanya karena ingin menghemat uang,
maka kita memilih untuk makan daging?
Bukankah rezeki kita berasal dari Allah?
Uang yang kita pegang, jika digunakan untuk sesuatu yang
halal, yang bermanfaat, akan Allah ganti. Biarin seafood dan vegetarian mahal
juga, kan Allah yang bayarin.
Apakah daging adalah satu-satunya sumber protein maka dengan
alasan itu kita menghalalkan dengan hukum kita sendiri? Padahal satu-satunya
yang memberi kehidupan dan kesehatan hanyalah Allah. J
Intinya, dari tulisan ini, ketika suatu saat temen-temen
datang ke tempat yang mencari makanan halal itu susah, maka ketika ada suatu
pilihan yang tidak kita sukai (ga suka seafood atau sayur, bukan karena alergi
yang parah) namun kita tau itu lebih baik untuk kita, maka pilihlah makanan tersebut. Bisa
jadi kita membenci sesuatu padahal itu adalah yang terbaik untuk kita.
Dan juga, mohon, jaga identitas kita sebagai seorang Muslim.
Sehingga semua manusia bisa mengetahui bagaimana indahnya Islam mengatur setiap
detail kehidupan kita.
Saya pernah mendengar beberapa kali non-muslim berkata
seperti ini,
“Agama mu ko ribet
banget ya.”
Mereka berkata demikian karena mereka tidak tahu. Pada nyatanya, Allah sudah sangat jelas menerangkan halal
dan haramnya. Jangan sampai,
karena perilaku kita, itu menjauhkan mereka untuk mengenal lebih dalam mengenai
Islam. Hanya karena mereka berpikir Islam itu ruwet aturannya. Disaat kita
belum baik pun, belum bisa menerapkan aturan Islam yang sebenarnya, disaat ada
seseorang yang bertanya mengenai Islam, maka jelaskan bagaimana yang sebenarnya
Al-Qur’an dan Hadist ajarkan.
Tidak perlu gengsi kita terlihat seperti pendosa.
“Di Islam, kami diwajibkan untuk berhijab. Meski saya belum
berhijab.”
"Di Islam, lawan jenis yang bukan mahram tidak boleh bersentuhan. Meski saya masih sering berjabat tangan dengan lawan jenis saya."
“Di Islam, kami tidak boleh memiliki hubungan sebelum
pernikahan. Meski saat ini, saya memiliki pacar.”
“Apabila saya berbuat salah, maka salahkan saya. Jangan
salahkan hijab saya. Jangan salahkan agama saya. Karena agama saya sempurna.
Sedangkan saya tidak.”
Karena sejatinya kita semua adalah pendosa yang berusaha
untuk khusyu dalam taubatnya. Manusia tidak luput dari kesalahan, tapi Islam
mengajarkan kita kebenaran. Islam, adalah agama yang telah Allah sempurnakan.
Sekali lagi, dengan segala hormat dan tidak bermaksud
menyinggung pihak mana pun. Apabila saya salah, mohon diluruskan. Apabila tidak
sependapat, ada baiknya kita sama-sama pelajari dulu lebih dalam. Kita memiliki
empat madzhab, semuanya berasal dari sumber yang sama, Al-Qur’an dan Hadist. Semua hasil ijtihad para fuqaha itu benar, karena sudah melewati proses ijtihad yang panjang yang dilakukan oleh para ekspert di bidangnya.
Keputusan akhir tergantung dari siapa yang menjalankannya. Saya berharap, teman-teman semua dapat bersikap bijak sebagaimana pendirian yang sudah diambil oleh masing-masing ulama tanpa harus menjatuhkan anggapan ulama lainnya. Karena sesungguhnya, kedudukan mereka sangat tinggi sedangkan kita hanyalah seorang awam yang sama sekali tidak mengerti ilmu istimbath hukum.
Keputusan akhir tergantung dari siapa yang menjalankannya. Saya berharap, teman-teman semua dapat bersikap bijak sebagaimana pendirian yang sudah diambil oleh masing-masing ulama tanpa harus menjatuhkan anggapan ulama lainnya. Karena sesungguhnya, kedudukan mereka sangat tinggi sedangkan kita hanyalah seorang awam yang sama sekali tidak mengerti ilmu istimbath hukum.
Wallahu’alambissawab. Kebenaran yang absolut hanyalah milik
Allah SWT.
Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Komentar